Lepa Bura – Tradisi Kesucian dan Pantangan Dari Flores Timur
Lepa Bura adalah tradisi adat yang sarat makna dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaseng, Flores Timur.
Tradisi ini merupakan refleksi kesucian diri dan kepatuhan pada norma sosial, sekaligus ungkapan rasa syukur atas panen padi yang baru. Lepa Bura tidak hanya berupa ritual biasa, tetapi sebagai media penghubung antara manusia, alam semesta, dan leluhur melalui serangkaian upacara dan pantangan yang dijalankan dengan penuh keyakinan.
Dibawah ini ALL ABOUT NUSA TENGGARA TIMUR akan membahas tradisi Lepa Bura, sebuah warisan budaya penuh makna yang melambangkan kesucian dan pantangan dalam masyarakat Flores Timur.

Sejarah dan Asal-Usul Lepa Bura
Lepa Bura berasal dari masyarakat Suku Lamaholot yang mendiami Desa Sulengwaseng, Kecamatan Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur. Tradisi ini telah berjalan selama berabad-abad dan terkait dengan cerita leluhur suku Krowin yang melakukan perjalanan dari Kabupaten Sikka ke Flores Timur.
Sebelum masuknya agama Katolik, masyarakat Lamaholot meyakini kepercayaan lokal yang disebut Lera Wulan Tana Ekan yang merepresentasikan matahari, bulan, tanah, dan alam semesta. Lepa Bura menjadi sarana untuk menghormati alam dan leluhur melalui ritual yang penuh makna dan simbolisme.
Masa Pantangan dan Kesucian Diri Dalam Lepa Bura
Salah satu aspek paling penting dalam tradisi ini adalah masa pantangan yang disebut eka mi’in. Pantangan ini dimulai sejak turun hujan pertama kali setelah masa tanam padi. Tiga kelompok masyarakat yang menjalani pantangan ini yaitu para ibu, bapak, dan gadis remaja (kebarek naen).
Selama masa ini, mereka dilarang mengonsumsi makanan baru, sedangkan para gadis dilarang melakukan pacaran dan segala hal yang berbau seksualitas. Pantangan ini bertujuan menjaga kesucian diri dan memupuk ketaatan terhadap norma adat serta norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Support Timnas Indonesia di Piala Dunia dengan cara nonton gratis melalui Aplikasi Shotsgoal. Segera download!

Rangkaian Upacara dan Simbolisme
Lepa Bura diawali dengan kegiatan adat bernama Leta Nenan, yaitu permohonan bantuan dan kekuatan dari Tuhan alam serta leluhur. Tuhan alam dan leluhur tersebut dikenal sebagai Lera Wulan Tana Ekan dan Kewokoi. Setelah itu, upacara Bao lolon dilaksanakan dengan memberi sesajen sebagai bentuk penghormatan.
Puncak dari ritual ini adalah tarian Lepa Bura. Tarian ini berlangsung selama 24 jam penuh, dimulai dari pagi hari Selasa hingga pagi Rabu. Upacara diadakan di sebuah lokasi bernama Namang. Seluruh warga desa aktif berpartisipasi dalam persiapan perahu, gong, dan gendang.
Alat musik tersebut digunakan sebagai sarana musik dan persembahan dalam upacara. Proses ini menggambarkan hubungan erat antara warga, alam, dan leluhur yang hidup dalam kesatuan harmonis.
Baca Juga: Pantai Kampung Ujung, Destinasi Pantai yang Wajib Anda Dikunjungi di NTT
Fungsi Sosial dan Kultural Tradisi Lepa Bura
Selain sebagai wujud syukur terhadap hasil panen padi baru, Lepa Bura berfungsi sebagai media integrasi sosial dan kultural antar warga masyarakat Lamaholot. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial melalui partisipasi bersama dalam berbagai ritual dan kegiatan.
Kesadaran akan nilai kesucian dan tontonan ritual tarian memperkuat identitas budaya lokal serta menjadi penanda keharmonisan hidup yang saling mengikat manusia dengan alam serta leluhur. Dengan demikian, Lepa Bura bukan hanya ritual keagamaan tapi juga alat pelestari budaya adat yang strategis.
Tantangan dan Pelestarian Tradisi Lepa Bura
Seiring dengan masuknya agama Katolik dan modernisasi, tradisi Lepa Bura menghadapi tantangan dari perubahan pandangan masyarakat terhadap adat istiadat. Beberapa kelompok masyarakat ada yang memilih meninggalkan tradisi ini, sedangkan yang lain tetap melestarikannya sambil menyesuaikan dengan keyakinan agama.
Pemerintah daerah dan masyarakat sendiri berupaya menjaga keberlangsungan Lepa Bura melalui dokumentasi, edukasi budaya, dan kegiatan pariwisata untuk menarik perhatian generasi muda dan wisatawan. Rangkaian upacara yang kaya makna ini diharapkan tetap menjadi warisan budaya yang hidup dan dihormati di Flores Timur.
Kesimpulan
Lepa Bura menggambarkan betapa kuatnya ikatan antara manusia, alam, dan leluhur dalam budaya NTT, khususnya Flores Timur. Tradisi ini memadukan ritual kesucian, pantangan adat, dan ekspresi syukur yang dilaksanakan dengan penuh kesungguhan oleh masyarakat Lamaholot.
Melalui pelestarian Lepa Bura, kearifan lokal ini tetap menjadi identitas budaya yang bernilai tinggi dan relevan bagi kehidupan sosial masyarakat masa kini. Dapatkan konten eksklusif dan berbagai informasi menarik lainnya hanya di ALL ABOUT NUSA TENGGARA TIMUR. Ayo, kunjungi sekarang dan temukan lebih banyak!
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari Yt KrowinRoman0787
- Gambar Kedua dari download.garuda.kemdikbud.go.id