Makna Filosofis Upacara Nujuh Jerami
Upacara Nujuh Jerami adalah salah satu tradisi adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Suku Lom di Bangka Belitung.
Upacara ini merupakan bentuk rasa syukur atas hasil panen padi, khususnya beras merah, dan permohonan perlindungan untuk musim tanam berikutnya. Tradisi ini tidak hanya memiliki nilai budaya yang tinggi, tetapi juga mengandung makna filosofis yang mendalam.
Dalam artikel ALL ABOUT NUSA TENGGARA TIMUR ini, kita akan mengeksplorasi makna filosofis dari upacara Nujuh Jerami, mulai dari asal-usulnya, proses pelaksanaannya, hingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Asal-Usul dan Latar Belakang
Asal-usul dan latar belakang upacara Nujuh Jerami, yang merupakan tradisi adat masyarakat Suku Lom di Bangka Belitung, memiliki sejarah yang kaya dan penuh makna. Upacara ini dikenal sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen padi, khususnya beras merah, dan permohonan perlindungan untuk musim tanam berikutnya.
Menurut cerita yang diwariskan oleh tetua adat, tradisi ini bermula dari salah satu leluhur mereka yang mendapat mimpi untuk mengorbankan kedua anaknya sebagai tumbal.
Anak yang dikorbankan ke laut diyakini menjelma menjadi ikan, sementara yang dikorbankan ke daratan menjadi tanaman padi. Sejak saat itu, masyarakat Lom menyelenggarakan ritual persembahan sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan panen dan perlindungan leluhur terhadap ladang mereka.
Upacara Nujuh Jerami dilaksanakan setiap tahun berdasarkan penanggalan Tionghoa, yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15 bulan ketiga, yang biasanya jatuh pada bulan April. Penggunaan penanggalan Tionghoa menunjukkan adanya pembauran budaya antara Suku Lom dan masyarakat Tionghoa di Bangka.
Nama “Nujuh Jerami” sendiri berasal dari kata “nujuh” yang berarti tujuh hari dan “jerami” yang berarti batang padi. Secara harfiah, Nujuh Jerami diartikan sebagai hari besar atau hari raya yang diselenggarakan tujuh hari setelah panen padi. Tradisi ini menjadi momen penting bagi masyarakat Lom untuk memulai penanaman kembali, yaitu membuka ladang baru atau lahan baru untuk bercocok tanam.
Proses Pelaksanaan Upacara Nujuh Jerami
Proses pelaksanaan upacara Nujuh Jerami di Bangka Belitung melibatkan berbagai tahapan yang penuh dengan simbolisme dan makna filosofis. Upacara ini biasanya diadakan pada tanggal 13, 14, dan 15 bulan ketiga dalam penanggalan Imlek, yang biasanya jatuh pada bulan April.
Persiapan upacara dimulai dengan mengumpulkan berbagai perlengkapan seperti alat-alat untuk kegiatan berladang, penumbuk padi, alu, lesung, batok kelapa, dan alat-alat memasak. Seluruh masyarakat Lom berpartisipasi dalam persiapan ini, menciptakan suasana kebersamaan dan gotong royong yang kuat.
Pada hari pelaksanaan, tetua adat memimpin ritual dengan membacakan doa dan mantra-mantra saat menumbuk padi sebanyak tujuh kali. Hasil tumbukan padi yang berupa beras merah kemudian diberi doa atau mantra sebelum diserahkan kepada para tamu undangan, khususnya para pemimpin.
Tahap pertama dalam upacara ini adalah Ngulapin, yaitu ritual permohonan izin dan restu kepada Dewi Surga di Pura Dalem. Setelah itu, dilakukan upacara Maseh Lawang yang bertujuan untuk memulihkan cacat atau kerusakan jenazah secara simbolis.
Upacara ini biasanya dilakukan di catus pata atau di bibir kuburan. Selanjutnya, jenazah dimandikan dalam ritual Nyiramin atau Ngemandusin untuk menyucikan tubuh mendiang. Proses pemandian ini melibatkan air suci dan berbagai sesajen yang dipersembahkan kepada roh leluhur.
Setelah pemandian, jenazah dibungkus dengan kain putih dalam tahap Ngajum Kajang. Kain putih ini melambangkan kesucian dan kebersihan jiwa yang akan dilepaskan. Kemudian, dilakukan upacara Ngaskara yang bertujuan untuk menyucikan roh mendiang dan mempersiapkannya untuk perjalanan ke alam baka.
Upacara ini melibatkan berbagai mantra dan doa yang dipimpin oleh pendeta. Tahap berikutnya adalah Mameras, di mana keluarga memberikan persembahan terakhir kepada mendiang sebagai tanda penghormatan dan kasih sayang.
Baca Juga: Kelezatan Jagung Bose Jajanan Tradisional Khas NTT
Proses Pelaksanaan Upacara Nujuh Jerami
Proses pelaksanaan upacara Nujuh Jerami di Bangka Belitung melibatkan berbagai tahapan yang penuh dengan simbolisme dan makna filosofis. Upacara ini biasanya diadakan pada tanggal 13, 14, dan 15 bulan ketiga dalam penanggalan Imlek, yang biasanya jatuh pada bulan April.
Persiapan upacara dimulai dengan mengumpulkan berbagai perlengkapan seperti alat-alat untuk kegiatan berladang, penumbuk padi, alu, lesung, batok kelapa, dan alat-alat memasak. Seluruh masyarakat Lom berpartisipasi dalam persiapan ini, menciptakan suasana kebersamaan dan gotong royong yang kuat. Pada hari pelaksanaan, tetua adat memimpin ritual dengan membacakan doa dan mantra-mantra saat menumbuk padi sebanyak tujuh kali.
Hasil tumbukan padi yang berupa beras merah kemudian diberi doa atau mantra sebelum diserahkan kepada para tamu undangan, khususnya para pemimpin. Tahap pertama dalam upacara ini adalah persiapan berbagai perlengkapan upacara, termasuk alat-alat untuk kegiatan berladang seperti penumbuk padi, alu, lesung, batok kelapa, dan alat-alat memasak.
Seluruh masyarakat Lom berpartisipasi dalam persiapan ini, menciptakan suasana kebersamaan dan gotong royong yang kuat. Pada hari pelaksanaan, tetua adat memimpin ritual dengan membacakan doa dan mantra-mantra saat menumbuk padi sebanyak tujuh kali. Hasil tumbukan padi yang berupa beras merah kemudian diberi doa atau mantra sebelum diserahkan kepada para tamu undangan. Khususnya para pemimpin.
Setelah persiapan selesai, upacara dimulai dengan tarian tradisional yang menghibur warga yang hadir. Pemuka adat kemudian menyiapkan peti lesung yang berisi satu lesung dan dua alu. Sebelum peti lesung dibuka, peti tersebut diberikan doa, lalu dibuka perlahan. Proses menumbuk padi dilakukan oleh dua perempuan keturunan Mapur yang didampingi oleh ketua adat.
Makna Filosofis Upacara Nujuh Jerami
Makna filosofis dari upacara Nujuh Jerami di Bangka Belitung sangat mendalam dan mencerminkan pandangan hidup masyarakat Suku Lom tentang hubungan antara manusia, alam, dan leluhur. Upacara ini, yang merupakan bentuk rasa syukur atas hasil panen padi. Khususnya beras merah, dan permohonan perlindungan untuk musim tanam berikutnya, mengajarkan pentingnya keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan.
Dalam pandangan masyarakat Lom, panen yang berhasil adalah berkah dari leluhur dan alam, sehingga perlu disyukuri melalui upacara adat. Rasa syukur ini diwujudkan dengan mengundang sanak saudara, kaum kerabat. Dan tetangga untuk bersantap bersama hasil panen padi lengkap dengan lauk-pauknya.
Selain itu, upacara Nujuh Jerami juga mengandung makna perlindungan dan permohonan restu untuk musim tanam berikutnya. Melalui ritual ini, masyarakat Lom memohon kepada leluhur agar ladang mereka selalu dilindungi dan diberkahi. Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa keberhasilan panen tidak hanya bergantung pada usaha manusia, tetapi juga pada restu dan perlindungan dari kekuatan spiritual.
Kesimpulan
Upacara Nujuh Jerami adalah simbol kebanggaan dan identitas masyarakat Suku Lom yang kaya akan nilai-nilai filosofis dan budaya. Tradisi ini mencerminkan rasa syukur, perlindungan, dan kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat Lom. Meskipun zaman telah berubah, upacara Nujuh Jerami tetap relevan dan terus dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya yang berharga.
Melalui upacara ini, masyarakat Lom tidak hanya menjaga warisan budaya mereka. Tetapi juga memperkuat nilai-nilai kebersamaan dan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, upacara Nujuh Jerami akan terus menjadi simbol kebanggaan dan identitas masyarakat Suku Lom yang kental dan penuh makna.
Demikian pembahasan singkat tentang makna filosofis Upacara Nujuh Jerami. Ikuti terus pembahasan terbaru seputar Kebudayaan Indonesia yang lainnya ya!